Pada tahun 1980-an, Jakarta yang memang sudah mengalami kendala
kemacetan lalu lintas, banyak membangun jalan layang sebagai salah satu
solusi meningkatkan infrastruktur lalu-lintas. Sebagai kontraktor saat
itu, PT. Hutama Karya mendapatkan order membangun jalan raya di atas
jalan by pass A. Yani di mana pembangunannya harus memastikan bahwa
jalan itu harus tetap berfungsi.
Dengan permasalahan tersebut, para direksi Hutama Karya berdiskusi
setelah mendapatkan order membangun jalan layang antara Cawang sampai
Tanjung Priok sekitar tahun 1987. Persoalan rumit diurai, yang
diperlukan untuk menyangga badan jalan itu adalah deretan tiang beton,
satu-sama lain berjarak 30 meter, di atasnya membentang tiang beton
selebar 22 meter. Batang vertikalnya (pier shaft) berbentuk segi enam
bergaris tengah 4 meter, berdiri di jalur hijau. Hal ini tidak sulit,
yang merepotkon adalah mengecor lengannya (pier head). Jika dengan cara
konvensional, yang dilakukan adalah memasang besi penyangga (bekesting)
di bawah bentangan lengan itu, tetapi bekesting itu akan menyumbat jalan
raya di bawahnya. Cara lain adalah dengan bekesting gantung tetapi
membutuhkan biaya lebih mahal.
Di tengah masalah itu, Ir. Tjokorda Raka Sukawati mengajukan gagasan
dengan membangun tiangnya dulu dan kemudian mengecor lengannya dalam
posisi sejajar dengan jalur hijau, setelah itu diputar membentuk bahu.
Hanya saja kendalanya adalah bagaimana cara memutarnya karena lengan itu
nantinya seberat 480 ton.
Inspirasi dari dongkrak hidrolik mobil
Ketika Tjokorda memperbaiki kendaraannya, hidung mobil Mercedes buatan
1974-nya diangkat dengan dongkrak sehingga dua roda belakang bertumpu di
lantai yang licin karena ceceran tumpahan oli secara tidak sengaja.
Begitu mobil itu tersentuh, badan mobil berputar dengan sumbu batang
dongkrak. Satu hal yang ia catat, dalam ilmu fisika dengan meniadakan
gaya geseknya, benda seberat apa pun akan mudah digeser. Kejadian tadi
memberikan inspirasi bahwa pompa hidrolik bisa dipakai untuk mengangkat
benda berat dan bila bertumpu pada permukaan yang licin, benda tersebut
mudah digeser. Bayangan Tjokorda adalah menggeser lengan beton seberat
480 ton itu.
Kemudian Tjokorda membuat percobaan dengan membuat silinder bergaris
tengah 20 cm yang dibuat sebagai dongkrak hidrolik dan ditindih beban
beton seberat 80 ton. Hasilnya bisa diangkat dan dapat berputar sedikit
tetapi tidak bisa turun ketika dilepas. Ternyata dongkrak tersebut
miring posisinya. Tjokorda kemudian menyempurnakannya. Posisinya
ditentukan persis di titik berat lengan beton di atasnya.
Untuk membuat rancangan yang pas, dasar utama Hukum Pascal yang
menyatakan: "Bila zat cair pada ruang tertutup diberikan tekanan, maka
tekanan akan diteruskan segala arah". Zat cair yang digunakan adalah
minyak oli (minyak pelumas). Bila tekanan P dimasukkan dalam ruang
seluas A, maka akan menimbulkan gaya (F) sebesar P dikalikan A. Rumus
itu digabungkan dengan beberapa parameter dan memberikan nama Rumus
Sukawati, sesuai namanya. Rumus ini orisinil idenya karena sampai saat
itu belum ada buku yang membahasnya sebab memang tidak ada kebutuhannya.
Masalah lain yang muncul ada variabelnya yang mempengaruhinya, di
antaranya adalah jenis minyak yang digunakan yang tidak boleh rusak
kekentalannya (viskositas). Urusan minyak menjadi hal yang krusial
karena minyak inilah yang meneruskan tekanan untuk
Setelah semua selesai, Tjokorda mengerjakan rancangan finalnya yakni
sebuah landasan putar untuk lengan beton yang dinamai Landasan Putar
Bebas Hambatan (LBPH). Bentuknya dua piringan (cakram) besi bergaris
tengah 80 cm yang saling menangkup. Meski tebalnya 5 cm, piring dari
besi cor FCD-50 itu mampu menahan beban 625 ton.
Ke dalam ruang di antara kedua piringan itu dipompakan minyak oli.
Sebuah seal (penutup) karet menyekat rongga di antara tepian piring besi
itu untuk menjaga minyak tak terdorong keluar, meski dalam tekanan
tinggi. Lewat pipa kecil, minyak dalam tangkupan piring itu dihubungkan
dengan sebuah pompoa hidrolik. Sistem hidrolik itu mampu mengangkat
beban beban ketika diberikan tekanan 78 kg/cm2. Angka ini sebenarnya
angka misteri bagi Tjokorda saat itu.
Ir. Tjokorda ;
Teknik Sosrobahu ;
1. Kolom jembatan layang di median (tengah) jalan
2. Kolom dan lengan (pier head) jalan layang searah jalan dibawahnya
3. Kolom dan lengan (pier head) jalan layang setelah diputar
Proses :
Penamaan Sosrobahu dan pemberian paten
Pada pemasangan ke-85, awal November 1989, Presiden Soeharto ikut
menyaksikannya dan memberi nama teknologi itu Sosrobahu yang diambil
dari nama tokoh cerita sisipan Mahabharata. Sejak itu LBPH tersebut
dikenal sebagai Teknologi Sosrobahu.
Temuan Tjokorda digunakan insinyur Amerika Serikat dalam membangun
jembatan di Seattle. Mereka bahkan patuh pada tekanan minyak 78 kg/cm2
yang menurut Tjokorda adalah misteri ketika menemukan alat LBPH
Sosrobahu itu. Tjokorda kemudian membangun laboratorium sendiri dan
melakukan penelitian dan hasilnya berupa perhitungan susulan dengan
angka teknis tekanan 78,05 kg/cm2, nyaris persis sama dengan angka
wangsit yang diperolehnya sebelum itu.
Hak paten yang diterima adalah dari pemerintah Jepang, Malaysia,
Filipina. Dari Indonesia, Dirjen Hak Cipta Paten dan Merek mengeluarkan
patennya pada tahun 1995 sedangkan Jepang memberinya pada tahun 1992.
Saat ini teknologi Sosrobahu sudah diekspor ke Filipina, Malaysia,
Thailand dan Singapura. Salah satu jalan layang terpanjang di Metro
Manila, yakni ruas Vilamore-Bicutan adalah buah karya teknik ciptaan
Tjokorda. Di Filipina teknologi Sosrobahu diterapkan untuk 298 tiang
jalan. Sedangkan di Kuala Lumpur sebanyak 135. Saat teknologi Sosrobahu
diterapkan di Filipina, Presiden Filipina Fidel Ramos berujar, "Inilah
temuan Indonesia, sekaligus buah ciptaan putra ASEAN". Sementara Korea
Selatan masih bersikeras ingin membeli hak patennya.
Teknologi Sosrobahu ini dikembangkan menjadi versi ke-2. Bila pada versi
pertama memakai angker (jangkar) baja yang disusupkan ke beton, versi
keduanya hanya memasang kupingan yang berlubang di tengah. Lebih
sederhana dan bahkan hanya memerlukan waktu kurang lebih 45 menit
dibandingkan dengan yang pertama membutuhkan waktu dua hari. Dalam
hitungan eksak, konstruksi Sosrobahu akan bertahan hingga 100 tahun (1
abad).
Menurut Dr. Drajat Hoedajanto pakar struktur dari Institut Teknologi
Bandung, Sosrobahu pada dasarnya hanya metode sangat sederhana untuk
pelaksanaannya (memutar bahu lengan beton jalan layang). Sistem ini
cocok dipakai pada elevated toll road (jalan tol layang dalam kota) yang
biasanya mengalami kendala lalu lintas dibawahnya yang pada. Sosrobahu
terbukti bermanfaat dalam proses pembangunan jalan layang, sangat
aplikatif, teruji baik teknis dan ekonomis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar